SEJARAH LAHIRNYA ILMU NAHWU

Banyak hal yang menyebabkan ilmu nahwu disusun. Secara umum sebab nya adalah seputar kekeliruan orang-orang arab pada bahasa mereka yang disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang ‘ajam (non arab) yang masuk islam sehingga mempengaruhi tata bahasa mereka. Diantara penyebab utama disusunnya ilmu nahwu adalah:

- Pada masa Rasulullah diriwayatkan bahwa ada seseorang yang keliru bahasanya, maka Rasulullah bersabda: “ Bimbinglah saudura kalian ini.. Sesungguhnya dia tersesat"

- Berkata Abu Bakar Ash Shidiq: “Aku lebih menyukai jika aku membaca dan aku terjatuh daripada aku membaca dan aku keliru

- Pada masa Umar bin Khattab, bahasa yang keliru di kalangan orang arab semakin menjamur. Hal ini disebabkan karena perluasan daerah kekuasaan Islam sehingga banyak orang-orang ‘ajam yang masuk islam. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi:

1. Umar melewati suatu kaum yang buruk lemparan (tombak) nya maka beliau mencela mereka. Mereka pun menjawab:

إِِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ


(Makna yang mereka inginkan adalah: “sesungguhnya kami adalah kaum terpelajar”. Akan tetapi mereka keliru karena yang benar إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْنَ dengan merofa’kan kata مُتَعَلِّمِيْنَ)

Umar berpaling dari mereka karena marah dan berkata:"Demi Allah kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat menurutku daripada kesalahan kalian pada lemparan (tombak) kalian".

2. Abu musa Al Asyari mengirimkan surat kepada amirul mukminin Umar bin Khathab yang tertulis di situ kalimat

مِنْ اَبُوْ مُوْسَى إِلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيَْنَ عُمَرٍ بْنِ الخَطَّابِ


(Dari abu musa kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab. Namun secara kaidah bahasa, kalimat yang tepat مِن اَبِيْ مُوْسَى dengan menjarkan kata “اَبُوْ”)

Umar membalas surat tersebut dengan: "Sebaiknya kau cambuk Juru tulis mu (karena keliru)". Juru tulisnya adalah Abul Hushain Al Anbary.

3. Seorang laki-laki dari gurun (badui) masuk Islam dan meminta diajarkan sesuatu dari Al Quran. Kemudian seorang kaum muslimin membacakan awal surat At Taubah:


"Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."( At Taubah : 3)

Akan tetapi orang tersebut membacanya sebagai berikut:

أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ


Yaitu dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلُ"” sehingga artinya berubah menjadi “bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya.”

Berkatalah orang badui tersebut: “Apakah benar bahwa Allah berlepas diri dari Rasul Nya? Demi Allah aku akan berlepas diri dari orang yang Allah berlepas diri darinya.” Ketika Umar mengetahui hal tersebut, ia mengutus seseorang ke orang tersebut dan membenarkan bacaannya dan Ia berseru kepada manusia:"Hendaknya seseorang tidak membaca Al Quran kecuali ia mengetahui bahasa Arab".

Ini adalah beberapa contoh kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada orang-orang arab disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang non-Arab. Kekeliruan ini tidak bisa dibiarkan karena dapat merusak pemahaman kaum muslimin terhadap Al Quran sebagaimana contoh yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, ilmu nahwu disusun agar memudahkan seseorang dalam mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab sehingga tidak keliru dalam memahami kalimat bahasa Arab.

Pencetus Ilmu Nahwu

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu tentang siapa pencetus ilmu nahwu. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pencetus ilmu nahwu adalah:

  1. Amirul mu'minin Ali bin Abi Thalib

  2. Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah dari Khalifah Umar bin Khathab

  3. Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib atau atas perintah Ziyad, pemimpin Bashrah atau Abul Aswad sendiri yang mencetuskan nya yang dipicu oleh percakapan antara beliau dan anak perempuan nya. Berkata anaknya: "wahai ayahku.. مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ (Apa yang paling indah dari langit?)" - dengan merofa'kan (membaca dhammah) kata " أَحْسَنُ " dan menjarkan (membaca kasrah) kata "السَّمَاءِ" . Beliau pun menjawab:"Bintang-bintangnya". Anaknya pun berkata:"Aku bukannya bertanya wahai ayah.. tetapi aku sedang merasa takjub..". Belaiu pun menjawab:"Kalau begitu seharusnya yang kamu ucapkan adalah.. مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa langit yang indah!)" – dengan membaca fathah kata "أَحْسَنَ " dan "السَّمَاءَ ".

  4. Abdurrahman bin Humuz Al A'raj

  5. Nashr bin 'Ashim Al Laitsy


Pendapat yang paling kuat dari pendaat-pendapat di atas adalah pendapat yang menyebutkan bahwa pencetusnya adalah Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ketika terjadi banyak kekeliruan orang arab terhadap bahasa nya sendiri khususnya kekeliruan mereka dalam membaca Al Quran dan Hadits.

Begitulah sejarah lahir nya ilmu nahwu dimana bisa kita baca dengan jelas bahwa tujuan utamanya adalah agar kaum muslimin dapat membaca Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

""Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya." (Yusuf : 2)

Imam Syafi’i rohimahulloh berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles (bahasa orang barat).” [Siyaru A’lamin Nubala, 10/74]

Benarlah perkataan penyair yang berkata:

النَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَ.. إِذْ الكَلاَمُ دُوْنَةُ لَنْ يُفْهَمَ..


(Ilmu nahwu adalah hal pertama yang paling utama untuk dipelajari.. karena perkataan tanpanya, tak dapat dipahami..)








Bangsa arab merupakan bangsa yang memilki nilai sastra yang tinggi. Di zaman Arab kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni dimana mereka berkumbul dan membanggakan syair-syair yang ada diantara mereka. Salah satu pasar seni yang terkenal adalah ‘Ukadz yang diadakan pada bulan Syawal.
Awalnya bahasa Arab amat terjaga sampai islam menyebar luas ke negeri-negeri ‘ajam (bukan Arab). Dari sinilah mulai timbul kesalahan dalam melafadzkan bahasa arab. Penyebab utamanya adalah adanya percampuran antara bahasa arab dengan 'ajam. Kekeliruan ini sangat berbahaya karena boleh merusak makna ayat Al Quran. Sehingga Akhirnya kaidah-kaidah bahasa arab disusun dan diberi nama nahwu.
Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abul Aswad Ad Dualy (67 H) dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali Rhadiyallahu ‘anhu.
١- التحفة السنية بشرح المقدمة الأجرومية – شيخ محمد محي الدين عبد الحميد – ص : ٦
واضعه – والمشهور أن أول واضع لعلم النحو هو أبو أسود الدوليُّ ، بأمر أمير المؤمنين عليّ بن أبي طالب رضي الله تعالى عنهما !.
٢- الكواكب الدرية على متمّة الأجروميّة- الشيخ محمد بن أحمد بن عبد الباري الأهدَل ص:٢٥ – دار الكتب العلمية.
وسبب تسمية هذا العلم بالنحو ما روي أن عليًا رضي الله عنه لما أشار على أبي الأسود الدولي أن يضعه قال له بعد أن علمه الاسم والفعل والحرف : الاسم ما أنبأ عن المسمى ، والفعل ما أنبأ عن حركة المسمى ، والحرف ما أنبأ عن معنى في غيره والرفع للفاعل وما اشتبه به والنصب للمفعول وما حمل عليه والجر للمضاف وما يناسبه انح هذا النحو يا أبا الأسود فسمي بذلك تبركاً بلفظ الواضع له

Sejarah munculnya Ilmu Nahwu ini pada ketika zaman Abul Aswad Ad-Dauli datang kerumah puterinya di tanah Basroh, (pada masa sekarang sebuah negeri di negara Iraq). Pada saat itu puterinya mengatakan يَا أَبَتِ مَا اَشَدُّ الْحَرِّ, dengan membaca Rofa’ pada lafadz اَشَدُّ dan membaca jar pada lafazh الْحَرّ , yang menurut bahasa yang benar مَا nya dilakukan sebagai Istifham yang artinya: “Wahai Ayahku ! Kenapa sangat panas?
Dengan spontan Abul Aswad menjawap شَهْرُنَا هَذَا (Wahai Puteriku, bulannya memamg musim panas).
Mendengar jawapan Ayahnya, puterinya langsung berkata : “Wahai Ayah, saya tidak bertanya kepadamu tentang panasnya bulan ini, tetapi saya memberi khabar kepadamu atas kekagumanku pada panasnya bulan ini (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub diucapkan مَا اَشَدَّ الْحَرَّ , dengan membaca fathah pada اَشَدَّ dan membaca Nashob الْحَرَّ ).
Sejak kejadian itu, Abul Aswad lalu datang kepada sahabat, Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali, Seraya berkata “ Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur dengan yang lain”, sambil menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka buatlah saya sebuah ilmu, kemudian Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali membacakan:
اَلْكَلاَمُ كُلُّهُ لاَيَخْرُجُ عَنِ اسْمٍ وَفِعْلٍ وَحَرْفٍ الخ عَلَى هَذَا النَّحْوِ
Kalam itu tidak boleh lepas dari kalimat Isim, Fi’il, dan Huruf, dan teruskanlah untuk sesamanya ini”.
Kemudian Abul Aswad Ad-Dauli mengarang bab Istifham dan Ta’jjub, dan Di kisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan :
إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”

Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rosak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah,
إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Kerana mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rosak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Lalu beliau mengarang bab Athof dan Na’at, yang pada setiap karangan selalu dihaturnya pada Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali sehingga sampai mencukupi ilmu Nahwu yang mencukupi. Dengan melihat cerita tersebut maka pengarang ilmu Nahwu pada haqiqotnya adalah Khalifah Saidina ‘Ali, yanag melaksanaakannya adalah Abul Aswad Ad-Dauli. Pada pekembnagan selanjutnya, banyak orang yang menimba ilmu dari Abul Aswad, diantaranya Maimun Al-Aqron, kemudian generasinya Abu Amr bin Ala’, kemudian generasinya Imam al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama), kemudian generasinya Imam Sibaweh dan Imam Al-Kisa’I (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.




LATAR BELAKANG ILMU NAHWU

A. NAHWU SEBAGAI PROSES ILMIAH BAHASA ARAB DAN LATARBELAKANG KELAHIRANNYA.

Al-Jabiri dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal ”Takwîn al-Aql al-Arabi” menyatakan bahwa “jika filsafat disebut sebagai mukjizat bangsa Yunani, maka pengetahuan tentang bahasa adalah mukjizat bangsa Arab. [7] Menurutnya, sumbangan terpenting bangsa Arab terhadap peradaban yang diwariskan kepada dunia adalah “agama dan bahasa”. Keduanya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan.
Munculnya berbagi perselisihan mazhab, baik dalam fikih maupun kalam jika dicermati, diantaranya, juga disebabkan oleh bahasa, dalam hal ini adalah masalah interpretasi teks (bahasa) al-Qur’an. Begitu pula dalam perselisihan politik, meskipun berlatar belakang sosial, ekonomi dan golongan, namun adakalanya pula timbul dari soal pemahaman teks (bahasa) agama.
Itu sebabnya, aktifitas ilmiah pertama yang dilakukan dalam tradisi intelektual Islam adalah terkait dengan masalah kebahasaan seperti kodifikasi bahasa, meletakkan dasar-dasar linguistik dan merumuskan gramatikanya. Metode ilmiah yang digunakan dalam pembahasan bahasa ini lalu dijadikan mode dalam berbagai aktifitas intelektual lainnya. Karenanya, tradisi keilmuan Islam yang berkembang setelah ilmu bahasa sangat terwarnai oleh metode dan cara berpikir para linguist dan grammarian generasi pertama.
Oleh karena itu, pada bagian ini penting rasanya menelusuri kembali mula pertama aktifitas dunia kebahasaan yang kemudian disebut dengan ilmu nahwu, terutama yang terkait dengan penggagas disiplin tersebut dan perkembangannya.
Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra” dalam memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu ini. Paling tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.[8]
Kajian ini tidak akan larut dan terjebak pada kontroversi di atas, sebab hampir dapat dipastikan semua nama yang tersebut tadi memiliki peran masing-masing dalam membidani kelahiran dan pertumbuhan nahwu. Abu al-Aswad al-Du’ali dan para muridnya yaitu Anbasah al-Fil, al-Aqran, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, misalnya, dalam berbagai literatur diakui sebagai penggagas awal ilmu nahwu. Abu Aswad al-Du’ali berjasa merumuskan “i’rab” dan pembagiannya, semenatra para muridnya mengembangkannya dan menemukan istilah-istilah teknis semisal “al-mubtada’, al-fa’il dan al-maf’ul”. Kemudian murid dari para murid Abu Aswad terutama Ibnu Abi Ishaq al-Hadhrami, Isa bin Umar al-Tsaqafi dan Abu Amr bin al-Ala’ lebih jauh mengembangkan teori-teori yang telah dirintis di atas dengan cara membuat rumusan tatabahasa yang sedikit lebih luas dengan melakukan penelitian mendalam mengenai karakter bahasa Arab, ia juga dianggap sebagai penggagas metode “ta’lil dan qiyas” dalam nahwu.[9] Lebih dari itu, generasi ini juga telah membukukan teori-teori mereka seperti yang dilakukan oleh Isa bin Umar dalam karyanya”Kitâb al-Jâmi’ dan Kitâb al-Mukammil ”.[10]
Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut standar bahasa Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “al-Lahn”.[11]
Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab (kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti disinggung di atas, atau siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai adanya suatu perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual tersebut telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem seperti lazimnya obyek ilmiah lainnya.
Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya dalam bahasa Arab. Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits, fikih, bahasa, matematika dan logika formal (manthiq) dan didukung dengan kecerdasan yang luar biasa, ilmu nahwu ia kembangkan sedemikian rupa baik secara teoretik maupun cakupan kajiannya. Dengan kata lain, bahasa Arab mulai benar-benar menjadi bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajayjri secara metodologis dan sistematis sejak ia dibuat rumusan tatabahasanya yang komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi ini.[12] Oleh karena itu, pada umumnya kajian seputar metode dalam proses ilmiah bahasa Arab lebih terfokus pada penelusuran metode yang digunakan oleh Khalil tersebut. Tulisan ini juga akan bertitik tolak dari hal yang serupa pula.

B. METODE DALAM PROSES ILMIAH BAHASA ARAB.
Seperti telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa proses ilmiah bahasa Arab dalam pengertian yang sebenarnya dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Khalil tidak saja mengembangkan, melengkapi dan memperluas teori-teori yang telah dirintis oleh Abu al-Aswad al-Du’ali dan para muridnya, atau yang dikembangkan oleh para murid dari murid-murid Abu al-Aswad, tetapi bahkan secara spektakuler dan genuin dia memperkenalkan berbagai teori baru.
Dalam soal nahwu, Khalil memperkenalkan berbagai istilah dan teori semisal al-Mubtada’ dan al-Khabar, Kâna, Inna dan saudara-saudaranya beserta fungsi dan cara kerja masing-masing. Ia juga sebagai pembuat kategori atau klasifikasi kata kerja transitif (al-Afa’âl al-Muta’addiyah) baik yang berobyek (maf’ul bihi) tunggal, dua atau beberapa obyek, dan kata kerja intransitif (al-Afa’âl al-Lâzimah). Juga perumus istilah al-Fa’il dan berbagai jenis maf’ulnya, al-Hal, al-Tamyiz, al-Tawabi’, al-Nida’ berikut macam-macamnya, kata benda bertanwin (munsharif) dan kata benda yang tidak bertanwin (ghairu munsharif) dan teori-teori lain yang lengkap dengan definisi masing-masing dan metode penyusunannya.[13]
Tidak hanya sampai disitu kreasi persoalan kebahasaan yang dilakukan Khalil, lebih jauh lagi ia menciptakan teori-teori bahasa lain yang kemudian dikenal dengan istilah “al-Sharf atau al-Tashrîf” atau bahkan secara umum dapat dikategorikan ke dalam “al-Ulûm al-Lughawiyyah” (linguistik). Berbagai bentuk wazan (timbangan pola kata) semisal “tsuna’i, tsulatsi, ruba’i, dan khumasi” (kata kerja yang terdiri dari dua, tiga, empat, dan lima ) dengan berbagai klasifikasinya dan aturannya seperti yang kita kenal sekarang ini adalah jasa dan warisan terbesar Khalil.
Klasifikasi atau kategorisasi kata ke dalam dua, tiga, empat lima dan enam huruf di atas menandai bahasa Arab sebagai bahasa ilmiah yang dapat dipelajari secara metodologis. Penentuan makna setiap kata dan derivasinya juga dapat dilacak dan ditelusuri melalui teori-teori tersebut. Rumusan-rumusan teoretis tadi oleh Khalil dituangkan ke dalam magnum opusnya yang bernama “Kitâb al-Ain”. Buku ini lebih tepat disebut sebagai kamus meskipun di dalamnya diuraikan seacara luas hal-hal lain yang terkait dengan bahasa Arab. Sesuai dengan namanya, kamus ini dimulai dengan menyajikan kata-kata berbahasa Arab yang huruf pertamanya berupa “’ain”. Oleh karena buku tersebut dianggap sebagai buku pertama yang menandai bahasa Arab sebagai bahasa ilmiah dalam pengertian yang sebenarnya, maka kajian terhadap metode ilmiah bahasa Arab dan prosesnya pun dapat dikaji dari buku ini. Bagaimana metode yang dilakukan oleh Khalil dalam membuat kategori-kategori atau klasifikasi di atas, uraian berikut ini akan mencoba memotretnya untuk mendapat gambaran yang lebih konkrit.
Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa Khalil bin Ahmad al-Farahidi, di samping menguasai pengetahuan tradisional Islam seperti hadits, fikih dan nahwu, ia juga memiliki pengetahuan yang mendalam tentang matematika, logika formal (manthiq) dan musik. Pengetahuan-pengetahuan tersebut oleh Khalil tidak sekedar dikuasainya sebagai pengetahuan yang normatif dan statis, tetapi ia kembangkan dan dijadikan pengetahuan yang interdisipliner dan integral, paling tidak dari segi metodologinya.
Pengetahuannya yang mendalam terhadap matematika dan musik, misalnya, telah mengilhaminya menciptakan pengetahuan yang di dalamnya dibahas berbagai nada bunyi lagu-lagu Arab dan aturan-aturannya. Sebuah kreasi yang dianggap sebagai karya yang paling original dan sempurna dari sejak diciptakan hingga saat ini sehingga baik para ahli bahasa maupun yang lain sulit menemukan segi kerlemahan ilmu yang kemudian dikenal dengan nama “al-Arûdh” ini.
Kedua disipilin yang mengandalkan rasio dan rasa (matematika dan musik) itu pulalah menurut al-Jabiri sangat mewarnai metode penyusunan dan perumusan berbagai kata dan akarnya oleh Khalil seperti yang tertuang dalam “Kitâb al-Ain”. Al-Jabiri menyatakan bahwa apabila seorang meneliti aspek epistemologi yang dibangun Khalil dalam menyusun rumusan tentang bahasa, pasti ia akan menyimpulkan bahwa metode dan rumus matematikalah yang menjadi acuan Khalil di samping sens musiknya yang amat peka itu. Terlebih lagi pada saat itu musik adalah bagian dari matematika.[14]
Pengaruh matematika pada metode Khalil dalam penyususnan dan perumusan kata-kata bahasa Arab ini dapat disaksikan dalam “Kitâb al-‘Ain”, terutama bagaimana ia mengolah dan mengelola huruf-huruf hija’iyah. Keduapuluh delapan huruf hija’iyah tersebut oleh Khalil dijadikan sebagai sebuah kelompok dasar (akar) yang darinya dapat diderivasi kelompok-kelompok lain yang bersifat cabang atau pengembangannya. Kelompok-kelompok cabang kata ini disusun dari mulai dua huruf hingga lima huruf.
Metode tersebut jelas bertitik tolak dari metode matematika yang mendasarkan teorinya pada sejumlah angka pokok lalu dipecah atau dibagi ke dalam angka-angka yang lebih kecil.
Dalam pandangan Khalil, komposisi kata dalam bahasa Arab hanya berkisar dua, tiga, empat dan lima huruf. Oleh sebab itu, apabila terdapat kata-kata yang jumlah hurufnya lebih dari lima huruf, maka huruf-huruf lebihan tersebut dikategorikan sebagai huruf “zai’dah” (tidak pokok, lebihan) yang tidak selalu harus dipertahankan, ia dapat dikembalikan pada akar atau asal kata-katanya.
Bertitik tolak dari teori di atas, Khalil mulai menyusun atau merangkai huruf-huruf hijai’iyah antara satu dengan yang lain dimulai dengan dua huruf, tiga huruf, empat huruf hingga lima huruf sejauh memungkinkan dan memiliki makna seperti merangkai huruf “dal” (دال) dengan huruf “ba’” (باء) semisal contoh berikut ini:
"بد، دب، أبد، أدب، بدأ،باد، داب، دبا" dan seterusnya sehingga tersusunlah, menurut sejarawan, sebanyak 12305412 kata.[15]
Setelah selesai merangkai huruf-huruf hija’iyah ke dalam kata-kata sebanyak itu langkah Khalil selanjutnya adalah meneliti dan menyeleksi ulang dengan cermat satu persatu. Huruf-huruf yang telah tersusun dan terangkai apabila memiliki makna dan berlaku di tengah masyarakat, maka kata-kata tersebut ia pertahankan. Sebaliknya, huruf-huruf yang telah tersusun dalam bentuk kata namun tidaka memiliki makna, maka ia campakkan.
Dengan cara itu, berarti Khalil telah mengubah bahasa Arab - yang semula belum memiliki metode mencari makna dasar kecuali murni mendengar (al-siamâ’) langsung dari komunitas tertentu yang dianggap representaif - ke dalam sebuah bahasa yang memiliki aturan (wazan-wazan) baku.
Teori penyusuan kata dalam bahasa Arab yang sangat metematis dan rasional tersebut pada gilirannya membawa konsekwensi logis bagi perkembangan keilmuan bahasa ini. Misalnya saja, ukuran benar dan salah pada sebuah kata adalah tergantung sejauh mana kata tersebut dapat diukur atau dikembalikan ke dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Khalil, bukan berdasarkan pertimbangan bahwa kata-kata itu ada dan berlaku atau tidak di tengah mesyarakat. Dengan kata lain, teori Khalil ini lebih mengedapankan kiyas (al-Qiyâs) dari pada mencari informasi langsung dari tengah masyarakat (al-Simâ’). Sejak munculnya teori Khalil ini pulalah kiyas berperan besar dalam berbagai perdebatan dalam dunia kebahasaan (linguistik) bahasa Arab.


C. ALIRAN (MAZHAB) DALAM NAHWU DAN KARAKTERNYA.
Dalam sejarah keilmuan tradisional Islam, nahwu merupakan salah satu pengetahuan yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan cabang yang satu ini tingkat kemajuannya dapat disejajarkan dengan-misalnya- disiplin fikih dan kalam. Ketiga disiplin ilmu tersebut dalam kategori keilmuan tradisinal Islam termasuk sebagai “’ilmun qad nadaja wa ichtaraqa”, secara harfiah berarti pengetahuan yang telah matang dan terbakar (gosong). Artinya bahwa ketiga pengetahuan tersebut telah mengalami tingkat kesempurnaan sebagai sebuah disiplin pengetahuan .
Ketiganya telah sama-sama memiliki kerangka teori dan sistem tata bangun atau epistemologinya masing masing meskipun tidak terumuskan secara konkrit dan eksplisit. Ketiga disiplin tersebut juga telah berkembang sedemikian rupa sehingga memunculkan berbagai aliran (mazhab) dengan paradigma dan teri-teorinya sendiri meskipun, tentu saja, di dalamnya terdapat benang merah yang dapat mempetemukan sisi-sisi persamaannya.
Dalam cabang ilmu nahwu telah muncul berbagai kelompok aliran tak kurang dari lima aliran. Tidaka seperti disiplin lain yang aliranya pada umumnya lebih ditentukan oleh individu-individu tokohnya, aliran dalam nahwu melibatkan sentimen dan fanatisme kedaerahan (kota) atau kewilayahan yang lebih luas lagi (negara). Dalam fikih tradisional, misalnya, kita kenal adanya aliran (mazhab) Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali dan yang lain, semuanya dinisbatkan kepada mereka yang dianggap sebagai pendiri mazhab tersebut yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dalam disiplin “Kalam”, diantaranya yang sangat terkenal adalah mazhab al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah dan lain sebagainya yang semuanya juga dinisbatkan kepada tokoh yang dianggap sebagai pendirinya yaitu Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sementara dalam nahwu kita kenal mazhab Bashrah, Kufah, Bagdad, Andalusia dan Mesir.

I. Mazhab Bashrah.
A. Sebagai Mazhab Nahwu Tertua.
Mazhab (aliran) Bashrah adalah mazhab yang dianggap tertua dalam aliran-aliran nahwu yang ada. Hal ini karena embrio ‘Ilmu Nahwu’, kelahiran hingga pertumbuhannya bermula dari kota tersebut. Berbagai teori dan prinsip-prinsip ilmu tersebut juga digagas dan muncul dari sana.
Para tokoh terkemuka perintis awal seperti Abu al-Aswad al-Du’ali hingga tokoh terkemuka cabang pengetahuan ini semisal Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Sibawaihi dan lainya juga tinggal di kota tersebut.
B. Karakter Nahwu Mazhab Bashrah dan Kufah
Seperti telah banyak ditulis dalam sejarah peradaban Islam, Irak adalah pusat peradaban dan pengetahuan tradisional Islam terkemuka sebelum kota-kota lain yang termasuk dalam wilayah kekuasaan kekhalifahan. Sebelum tampilnya kota Bagdad sebagai pusat intelektual, Bashrah dan Kufah adalah dua kota utama yang bersaing menjadi pusat aktifitas intelektual. Bashrah mewarisi tradisi intelektual dari generasi sebelumnya yang akrab dengan berbagai pengetahuan yang bersifat Hellenis dengan karakternya yang rasional. Sementara Kufah kental akan sikap konservatif yang mengawal dengan ketat warisan tradisional Islam. Itu sebabnya, maka pengetahuan yang muncul dan berkembang dari kedua kota tersebut, yang dalam konteks ini khususnya ilmu nahwu, memiliki karakter masing-masing. Nahwu mazhab Bashrah bersifat rasional, sedang mazhab Bashrah berkarakter sebaliknya, yaitu lebih mengandalkan dan bertumpu pada “riwayat dan menerima atau mendengar kasus kebahasaan yang terjadi di tengah masyarakat. Pendek kata, nahwu mazhab Bashrah dibangun di atas tiga prinsip utama yaitu: al-Qiyâs, al-Ta’lîl dan al-Ta’wîl. Atau menurut Abd al-‘Âl Salim al-Mukrim ketika mendeskripsikan karakter nahwu mazhab Bashrah ia menyatakan:”karakter paling menonjol mazhab Bashrah ialah menjadikan persoalan-persoalan nahawu dikaji dengan pendektan logika formal (manthiq) dengan berbagai silogismenya, alasan rasionalitasnya, kemungkinan-kemungkinannya dan interpretasinya, kemudian setelah itu semua, baru mengacu kepada Kalam Allah dan kalam orang Arab. Itu sebabnya, yang menjadi fokus atau konsernutama nahwu mazhab ini adalah al-Qiyas (silogisme)”.[16]
Sementara Ahmad Amin menyimpulkan bahwa perbedaan menonjol karakter kedua mazhab tersebut adalah bahwa mazhab bashrah bersifat lebih bebas (tidaka terikat tradisi berbahasa yang telah ada), lebih rasional, lebih terorganisir atau teratur dan lebih berpengaruh. Sementara mazhab Kufah kurang memberi nuansa kebebasan, lebih mempertahankan apa yang diwarisi dari orang Arab meskipun kurang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya sekalipun. Mazhab Bashrah berupaya menjadikan bahasa memiliki sistem yang dapat dinalar dan menghindari segala aspek periwayatan (untuk menentukan kaidah bahasa) yang dapat mengacauakan sistem bahasa. Sebaliknya mazhab Kufah berkarakter sebaliknya, segala yang terdengar dari orang Arab tanpa memperdulikan tingkat keabsahan atau tidaknya riwayat tersebut, dijadikan rujukan dalam mengambil keputusan sebuah kaidah bahasa.[17]
‎‎‎‎‎‎‎‎ Sedangkan Abd al-‘Al Salim Mukrim menyimpulkan mazhab Kufah sebagai berikut:[18]
1. Menjadikan berbagai dialek Arab yang bertahan di daerh pedalaman sebagai rujukan tau dalil konsep bahasa.
2. Menjadikan kasus berbahasa yang meskipun kurang populer (jarang terjadi) sebagai kias atau rujukan dan alasan konsep mereka.
3. Menjadikan puisi baik puisi pada zaman pra Islam (Jahiliyah) maupun puisi pada masa Islam sebagai rujukan konsep bahasa mereka meskipun mereka hanya menemukan sebuah bait puisi saja.
4. Merujuk pada berbagai macam atau ragam bacaan (al-Qirâ’ât) yang telah ada.
5. Merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dalam porsi yang lebih besar daripada mazhab Bashrah.
Uraian lengkap dan komprehensif seputar perbedaan antara kedua aliran di atas berikut berbagai contohnya telah banyak ditulis oleh para ahli nahwu, baik yang klasik maupun kontemporer, terutama dapat kita baca pada buku “al-Inshâf Fi Masâ’il al-Khilâf Baina al-Nahwiyyîn: al-Bashriyyîn wa al-Kûfiyyîn”.[19]
Namun demikian untuk sekedar memberi gambaran karakter berpikir kedua mazhab tersebut, ada baiknya jika mengangkat salah satu masalah nahwu yang mencerminkan adanya perbedaan cara pandang mereka, yaitu seputar “Nawâshib al-Mudhâri’ (amil-amil yang menasabkan fi’il mudhari’). Baik mazhab bashrah maupun Kufah sepakat bahwa amil yang menasabkan fi’il mudhari’ sebanyak sepuluh amil yaitu:أن، لنن إذنن كي، لام كي، لام الجحود، حتى، أو، الفاء الواقعة فى حواب
نفي أو طلب، الواو الواقعة بعد نفي أو طلب وتكون بمعن مع.

Akan tetapi, kedua mazhab itu kemudian berbeda dalam melihat peran masing-masing dari amil tersebut. Mazhab kufah, misalnya, berpendapat bahwa kesepuluh amil di atas tersebut itulah yang berperan menasabkan fi’il mudhari. Sementara mazhab Bashrah memiliki pandangan lain. Mazhab ini membagi kesepuluh amil tersebut ke dalam dua bagian:(a) Amil yang memang dapat berfungsi menasabkan langsung fi’il mudhari yaitu; an, lan izan dan kay, (b) Amil yang menasabkan dengan adanya huruf “an” yang tersembunyi setelah amil tersebut, yaitu semua amil yang telah disebutkan di atas.
Sudah barang tentu teori ini memiliki konsekwensi logis yang menuntut adanya penjelasan lebih luas lagi. Misalnya muncul pertanyaan lanjutan “lalu apa peran huruf-huruf tersebut jika tidak menasabkan langsung fi’il mudhari’? bagaimana I’rab kata yang jatuh setelah “an’ mashdariyyah yang tersembunyi itu? Dan masih ada pertanyaan-pertanyaan lainnya yang dapat dikemukakan menanggapi teori mazhab Bashrah tersebut.
Oleh karena itu, mazhab Kufah menolak pembagian seperti ini. Menurutnya, teori tersebut berbelit-belit dan memperumit nahwu saja. Disamping itu, pembagian semacam itu tidak ada gunanya dan juga tidak bepengaruh terhadap pengertian makna. Bahkan lebih keras lagi, mazhab Kufah memandang teori Bashrah ini dapat berdampak buruk bagi kejiwaan dan pikiran orang yang hendak mempelajari ilmu nahwu. Sebab, mengajarkan ilmu ini diperlukan pendekatan yang mudah diterima oleh para siswa, tidak menyajikan teori yang susah dipahami dan rumit.[20]

C. Mzahab Bagdad.
Selain dua kota Bashrah dan Kufah yang menjadi pusat kebudayaan dan intelektual Irak, saat itu muncul sebuah kota baru yang menjadi pesaing pusat intelektual dua kota yang telah berdiri lebih dahulu, yaitu kota Bagdad.
Kota bagdad ini didirikan dan dibangun oleh al-Manshur Billah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua dinasti Abbasiyyah. Namun sebenarnya rencana pendirian kota teresebut telah dicanangkan oleh saudaranya Abul Abbas al-Saffah, dan pembangunannya dimulai pada tahun 125 hijriah dan mulai ditempati pada tahun 129 hijriah.[21]
Letaknya yang sangat strategis yang dikelilingi sungai Efrat (al-Furat) dan dajlah, membuat kota baru ini mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dalam segala aspeknya, dan bahkan akhirnya menjadi kota ibu kota daulah Islamiyyah dan pusat pemerintahan. Itu sebabnya, banyak para intelektual yang selama ini bertempat tinggal di Kufah dan Bashrah dengan segala prestise dan presatasi yang mereka nikmati meninggalkan kota mereka untuk selanjutnya pindah ke Bagdad untuk mencari posisi yang lebih strategis lagi.
Imigrasi para intelektual ke Bagdad ini dimulai oleh para intelektual Kufah yang memang jarak antara kedua kota tersebu relatif lebih dekat dari pada jarak antara Bashrah dengan Bagdad. Mereka yang berimigrasi ke Bagdad ini oleh para penguasa diberi posisi terhormat dan sangat dihargai yang pada akhirnya bukan saja penghormatan tinggi ini dirasakan oleh para intelektualnya, tetapi sekaligus juga mengangkat citra dan pamor mazhab Kufah yang selama ini kalah citranya dengan mazhab Bashrah.
Menyaksikan realitas ini, maka para intelektual Bashrah pun banyak yang berminat meninggalkan kotanya untuk mencari posisi dan penghormatan seperti yang telah diraih oleh rival mereka dari Kufah. Hal ini tentu semakin meramaikan kota Bagdad, khususnya di aspek keintelektualan. Pada mulanya para intelektual imigran dari dua kota yang telah lama bersaing itu, membawa bendera dan segala keciri khasan masing –masing kota asalnya dan tetap mengembangkan persaingan yang telah lama ada sebelum akhirnya sama-sama menyadari perlunya mengakhiri persaingan tersebut di kota baru mereka.
Kesadaran perlunya mengakhiri persaingan lama inilah yang pada akhirnya memnculkan mazhab baru dalam nahwu, yaitu mazhab Bagdad. Sebuah mazhab yang mencoba mensinkretiskan dua mazhab (Bashrah dan Kufah) yang telah ada sebelumnya. Itu sebabnya, mazhab ini memiliki banyak sebutan diantaranya adalah “al-Khâlithaini baina al-Naz’ataini (pengkombinasi antara dua mazhab), Ashâb al-Madrasah al-Intikhâbiyyah (penganut mazhab eklektisme) dan al-Bagdadiyyûn”[22]
Diantara perintis atau penggagas mazhab baru tersebut adalah Abu Hanîfah Ahmad bin Dâwud al-Dinawari, Abu al-Thayyib Mihammad bin Ahmad bin Ishâq al-A’rabi al-Wasyâ’, Ibnu Kaisân Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhim bin Kaisân, al-Akhfash al-Shagîr, Ali bin Sulaiman bin al-Fadhl al-Nahwiyyi.[23]
Oleh karena sifatnya yang ekletis atau pengkombinasian itu, maka mazhab Bagdad tersebut memiliki karakternya sendiri, yaitu tidak terlalu bersifat rasional seperti yang menjadi ciri khas mazhab Bashrah, dan tidak pula terlalu tekstual seperti karakter khas mazhab Kufah. Namun demikian, para peneliti nahwu sering mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi mazhab bagdad ini. Sebab, meskipun disebut sebagai mazhab ekletis dari dua mazhab (Bashrah dan Kufah), para tokoh mazhab ini masih sering menampakan ego masing-masing mazhab asal mereka.
Oleh karena itu, banyak peneliti nahwu yang belakangan ini meragukan adanya mazhab tersebut. Bagi mereka, apa yang disebut dengan mazhab Bagdad, sebenarnya hanyalah sekedar mencampur adukan dua mazhab (Bashrah dan Kufah) tanpa disertai adanya upaya pencarian identitas maupun karakter tersendiri selain karakter pencampuradukan itu sendiri. Akan tetapi keraguan ataupun penolakan terhadap eksistensi mazhab Bagdad ini disanggah oleh, misalnya, Abd al-’Al Salim Mukrim. Menurutnya, eksistensi mazhab Bagdad merupakan suatu keniscayaan dan telah menjadi fakta historis. Sebab, banyak literatur nahwu telah mengabadikan pandangan-pandangan khas mazhab tersebut yang tidak sejalan dengan mayoritas mazhab Bashrah maupun Kufah. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini, tegas Abd al-‘Al, silahkan membuka buku semisal al-Ham’, al-Tashrih dan al-Asymuni.[24]
Adapun tokoh utama mazhab Bagdad ini diantaranya adalah Ibnu Kaisân yang memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad bin Kaisan (w.299 H). Ia dikenal sebagai tokoh pertama nahwu mazhab bagdad meskipun oleh sebagian penulis biografi lain semisal Brooklman ia dimasukkan sebagai imam nahwu mazhab Bashrah. Ia belajar nahwu dari al-Mubarrad dan Tsa’lab, mendalami mazhab Bashrah dan Kufah, banyak menulis tentang nahwu diantaranya adalah “Kitâb Ikhtilâfi al-Bashriyyîn Wa al-Kûfiyyîn Fî al-Nahwi, al-Kâfi Fi al-Nahwi, Kitâb al-Tashârif dan Kitâb al-Mukhtâr Fi ‘Ilal al-Nahwi” yang terdiri dari tiga jilid”. Juga Abu “Ali al-Farisi (al-Hasan bin Ahmad bin Abdul Ghaffar al-Farisi). Disamping dikenal pakar dibidang nahwu, ia juga sangat mendalami filsafat, manthiq dan kalam seperti pada umumnya penganut aliran mu’tazilah lainnya. Diantara tokoh mazhab Bagdad yang cukup terkenal terdapat nama Ibnu Jinni (Abu al-Fath Utsman bin Jinni al-Mosuli). Ia adalah murid langsung Abu Ali al-Farisi, terkenal sangat cerdas dan cermat dan sangat produkti menulis buku. Tak kurang dari lima puluh buku yang kebanyakan berkaitan dengan linguistik atau nahwu telah ia tulis. Salah satu buku karyanya yang monumental adalah “al-Khashâ’ish”, sebuah buku yang terdiri dari tiga jilid yang hingga sekarang masih menjadi rujukan utama dalam kajian linguistik klasik Arab.[25]

D. Mazhab Andalus
a. Sekilas Kemunculannya.
Tidak lama setelah Bani Umayyah mendirikan kekhalifahan di Andalusia (138 H-1422H), di negeri baru Islam di Barat ini muncul banyak budayawan dan sastrawan mensejajarkan diri dengan rivalnya di negeri Timur yang sudah lebih dahulu dikenal dengan para intelektualnya. Para ilmuan di Andalusia yang banyak menimba ilmu ke Timur ini pada umumnya adalah memiliki latar belakang sebagai ahli qira’ât (aneka ragam bacaan al-Qur’an) dan huffâdz (penghafal al-Qur’an). Itu sebabnya, pengetahuan yang berkembang lebih dahulu di negeri ini juga seputar ilmu qira’at disamping juga ilmu fikih.[26]
Sementara disiplin nahwu baru muncul dan berkembang belakangan setelah setelah beberapa ilmuan Andalusia belajar ke Timur. Diantara mereka yang populer adalah Jaudi bin Utsman al-Maururi. Ia mempelajari ilmu nahwu kepada al-Kissâi dan al-Farrâ’. Jaudi adalah orang pertama yang memperkenalkan karya-karya nahwu mazhab Kufah di Andalusia dan sekaligus juga ilmuan negeri tersebut yang menyusun buku tentang nahwu. Baru setelahnya muncul tokoh-tokoh lain seperti Abu Abdullah. Seperti Jaudi, ia juga belajar nahwu ke Timur kepada Utsman bin Said al-Mishri atau yang lebih terkenal dengan sebutan al-Warsh.[27]
Setelah itu, pada ke tiga hijriyah, di Andalusia telah tumbuh dan berkembang pesat berbagai ilmu pengetahuan termasuk di dalalmnya ilmu nahwu sehingga munculah para pakar disiplin ini diantaranya yang terkenal adalah Abdul Malik bin Habib al-Sullami (w. 238 H). Di samping ahli nahwu, ia juga dikenal sebagai pakar di bidang fikih, hadits dan bahasa.[28]
Selain karena adanya minat dan respons yang tinggi dari para ilmuan Andalusia sendiri, perkembangan ilmu nahwu di kekhilafahan ini juga diramaikan oleh banyaknya para pakar nahwu Irak, khususnya dari Bagdad, yang berimigrasi ke berbagai wilayah lain di luar Irak seperti ke Andalusia, Syam (Syiria) dan Mesir setelah situasi dan kondisi sosial politik internal negeri seribu satu malam itu berada dalam puncak kekacauannya. [29]
Oleh karena yang pertama kali nahwu yang dikenal dan dipelajari oleh para ilmuan Andalusia adalah nahwu mazhab Kufah dan alangsung dari para pakarnya sendiiri, maka nahwu yang berkembang lebih di sana juga nahwu mazhab kufah. Dan baru pada akhir abad ke-3 H, para ilmuan Andalusia berkenalan dengan nahwu mazhab Bashrah dirinrtis oleh al-Ufushniq Muhammad bin Musa bin Hisyam (w. 307 H). Ia pergi ke Timur dan belajar ilmu nahwu kepada Abu Ja’far al-Dinawari di Mesir. Buku yang ia pelajari adalah karya Sibawaih yang sangat terkenal itu, al-Kitab. Ia ‎mempelajari nahwu dari Ahmad bin Yûsuf bin Hajjâj (w. 336 H). Meskipun tidak dikenal sebagai ahli nahwu, tetapi Ahmad selalu membaca dana mempelajari karya Sibawaih di atas. Selain al-Ushfuniq, tokoh Andalusia lain yang juga mempelajari karya Sibawaih semisal Muhammad bin Yahya al-Mahlabi al-Rabâhi al-Jayyâni (w.353 H), seorang ahli filsafat, manthiq dan kalam.[30]
b. Karakter Nahwu Mazhab Andalusia.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa nahwu yang berkembang di Andalusia semula adalah mazhab Kufah dan baru di penghujung abad ke tiga hijriah mazhab Bashrah banyak mendapatk perhatian, menyusul kemudian nahwu mazhab Bagdad juga mendapatkan pengaruhnya di sana. Bertemunya ketiga aliran atau mazhab utama di satu kota besar ini sudah dapat dipastikan membawa konsekwensi-konsekwensi logis bagi perdebatan ilmu nahwu yang memang sedang dalam puncak kejayaannya.
Diantara fenomena yang sangat menarik dari semua itu adalah berpindahnya dua kelompok aliran yang pernah bersaing ketat di Irak, kini mereka kembali bersaing di negeri lain, Andalusia. Secara umum, para ahli nahwu di Andalusia terbagi ke dalam dua kelompok: Pendukung mazhab Kufah dan pendukung mazhab Bashrah.
Namun demikin, oleh karena di Andalusia pada ayang saat yang bersamaan juga sedang berkembang pengetahuan spekulatif (filsafat, manthiq dan kalam), maka nahwu mazhab Bashrah yang memiliki karakter rasional lebih diminati dan lebih berkembang dibanding nahwu model mazhab Kufah. Bahkan nahwu yang berkembang di Andalusia yang kemudian menjadi mazhab sendiri ini memiliki karakter yang lebih rasional daripada nahwu mazhab Bashrah.
Prinsip-prinsip analogi, ta’lil dan lainya yang menjadi karakter nahwu Bashrah dikembangkan sedemikian rupa oleh para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh saja, apabila nahwu Bashrah telah melahirkan teori nahwu tentang hukum atau ketentuan-ketentuan tertentu pada sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia akan memperlus ketentuan tersebut. Misalnya dalam kasus “mubtada’ ”, nahwu Bashrah telah merumuskan teori dan ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus dibaca rafa’, maka nahwu Andalusia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengapa ia harus dibaca rafa’, kenapa tidak dibaca nasab saja, apa alasannya, kemudian mereka memberinya alasan-alasan (ta’lîlât) yang panjang lebar. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan “kenapa, mengapa” semacam itu dalam tradisi nahwu klasik dengan sebutan “al-Illah al-Tsâniyyah” atau alasan kedua.[31]
Akibat dari semakin rasionalitasnya nahwu di Andalusia yang semakin membuat sulit cabang nahwu ini, maka muncul para pengkritik yang anti terhadap nahwu yang dianggap semakin jauh dari ideal pembelajaran dan untuk memahami teks Arab ini. Diantara para pengkritik terkemuka adalah Ibnu Madha’ al-Qurthubi yang menulis buku “Kitâb al- Radd ‘Ala al-Nuhât” (sanggahan atau penolakan atas para ahli nahwu). Buku tersebut menyoroti dan mengkritik berbagai prinsip nahwu, terutama “amil” yang dianggap tidak berperan apa-apa selain membuat rumit nahwu. Kritik Ibnu Madha’ ini akan dibahas pada bab “upaya pembahruan nahwu” dibagian akhir penelitian ini, insya Allah.

E. Mazhab Mesir
a. Sekilas Sejarah Pertumbuhan Nahwu di Mesir.
Seperti telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, bahwa pusat peradaban dunia Islam pada masa-masa awal adalah Irak, terutama di kota utama: Kufah, Bashrah dan Bagdad. Itu sebabnya, banyak pecari ilmu dari berbagai negeri Islam saat itu yang sengaja pergi ke Irak untuk menuntut ilmu, terutama ilmu nahwu dimana pada abad kedua hijriah ia telah menjadi ilmu yang mandiri.
Ekspedisi dari Mesir pertama yang tiba di Irak dalam rangka mendalami ilmu nahwu adalah mereka yang di dalamnya termasuk tokoh nahwu mesir al-Walîd bin Muhammad al-Tamîmî al-Mashâdiri yang dikenal juga dengan sebutan “Wallâd”. Rombongan ini langsung menuju kota Bashrah. Mereka belajar nahwu kepada tokoh terkemuka mazhab Bashrah, Khalil bin Ahmad. Sekembalinya dari Irak, ia mulai memperkenalkan dan mengajarkan nahwu di Mesir[32]
Setelah Wallâd, Abu al-Hasan al-A’azz pergi ke Irak untuk tujuan yang sama. Bedanya kota yang yang menjadi tujuannya adalah Kufah. Di kota ini ia juga belajar nahwu langsung kepada tokoh terkemuka mazhab Kufah, yaitu Ali bin Hamzah al-Kissâ’i. Menyusul kemudian Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Walid dan Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ismail yang lebih dikenal dengan nama ”al-Nahhâs”. Dua nama tersebut terkahir diatas menuju ke kota Bagdad, mereka belajar nahwu kepada Abi Ishaq al-Zajjâj.[33]

b. Karakter Nahwu Mazhab Mesir.
Abd al-‘Âl Salim Mukrim menyimpulkan bahwa nahwu mazhab Mesir dana mazhab Syam memiliki karakter atau tepatnya kecenderungan dua hal berikut ini:[34]
1. Adanya pengaruh kuat dari mazhab Bashrah yang banyak menggunakan al-Qiyâs, al-Ushûl, al-‘Ilal dan al-Furû’. Nahwu Mesir tipe ini terutama terepresentasikan pada tokoh nahwu semisal Ibnu al-Hâjib dan Abu Hayyân al-Andalûsi.
2. Karakter kedua adalah sikapnya yang tidak menolak terhadap mazhab Bashrah maupun Kufah, namun sekaligus menegaskan bahwa mereka memiliki memiliki pandangan sendiri dalam memecahkan berbagai persoalan nahwu. Karakter kedua ini terepresentasikan pada pandangan ahli nahwu Mesir seperti Ibnu Malik dan Ibnu Hisyam.
Dari berbagai macam aliran nahwu seperti telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya secara umum orientasi atau karakter nahwu hanya ada dua: Rasional dan konservatif. Sumber dan akar mazhab-mazhab di luar Irak seluruhnya bermuara dari dua kota kelahiran mazhab nahwu terkenal yaitu Nashrah dan Kufah.
Meskipun Kufah dalam teori ilmiah masuk dalam kategori sebagai representasi nahwu konservatif, tetapi sebetulnya jika kita mau jujur dan fair, nahwu mazhab ini juga menggunakan metode, meskipun dalam pengertian yang berbeda, rasional seperti yang dilakukan oleh mazhab Bashrah.
Oleh karena itu, secara umum juga dapat dikatakan bahwa seluruh prinsip semisal al-qiyas, al-Amil dan al-Illah dan sebagainya yang berlaku dalam nahwu juga dapat ditemukan dan diaplikasikan pada setiap mazhab nahwu, baik nahwu yang berkembang di Irak, di Andalusia, Mesir maupun di Syam.



BAB III.
PRINSIP-PRINSIP DALAM NAHWU
1. Al-Simâ’.
A. Ahl al-Badiyah (al-Badwi) sebagai pemegang otoritas.
Salah satu unsur terpenting dan utama yang menjadi pilar bagi tatabangun Ilmu Nahwu adalah al-Sima’ yang secara harfiah bearti “mendengar atau mendengarkan”. Tetapi kata tersebut memiliki pengertian yang lebih luas dari sekeda arti di atas. Al-Sima’ dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikan suatu kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi.
Sebenarnya prinsip al-Sima’ ini lebih erat kaitanya dengan masalah budaya daripada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya “otoritas”. Dalam tradisi Arab klasik terdapat kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka selalu menjadi rujukan atau bahkan penentu bagi kevaliditasan sebuah teori atau pembuatan aturan dalam tatabahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok pemegang otoritas tersebut adalah masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman atau pegunungan yang dalam sistem sosial Arab biasa disebut dengan “Ahl al-Badwi atau al-‘A’râb.
Oleh karena itu, para ahli bahasa dan nahwu pada abad awal hingga pertengahan Islam, mereka selalu menjadikan al-A’rab atau ahli al-Badwi sebagai rujukan dalam persoalan kebahasaan meskipun dalam tingkat dan kadar kekritisan yang berbeda-beda antara satu ahli dengan yang lain.
Para ahli Nahwu mazhab Basrah dan Kufah, misalnya, meskipun mereka sama-sama mencari legitimasi dan refrensi dari al-A’rab, tetapi mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai informasi yang dapat dari al-A’rab. Dalam pandangan orang Kufah, semua yang mereka dengar dan dikatakan oleh al-A’rab mereka anggap valid dan original sehingga sah dan dapat dijadikan sebagai standar kebenaran sebuah teori untuk menentukan kaidah kebahasaan. Akibatnya, nahwu mazhab Kufah cenderung lebih memiliki banyak variasi dan lebih longgar dalam merumuskan kaidah-kaidah nahwu mereka. Sebab, suatu ketentuan kaidah dalam sistem gramatika mazhab tersebut bisa mereka tetapkan hanya berdasarkan dan mengacu pada sebuah bait puisi masyarakat badui sebagai pijakan atau rujukan penetapannya.
Tidak demikian dengan mazhab Bashrah, sesuai dengan karakter mereka yang sangat rasional dan kritis, mereka sangat selektif, melakukan kalaifikasi dan verifikasi atas segala informasi yang mereka dapat dari al-‘Arab sebelum dijadikan sebagai rujukan atau acauan teori yang akan mereka bangun. Di samping itu, secara geografis letak kota Bashrah yang lebih dekat dengan daerah pedalaman daripada kota Kufah, membuat para ahli nahwu Bashrah dapat berinteraksi lebih erat sehingga lebih dapat mengenali dan memahami karakter masyarakat badui, mana diantara mereka yang dapat dijadikan sumber informasi dan mana yang sebaliknya. Sedangkan Kufah, di samping lebih dekat ke Irak daripada ke daerah pedalaman, bahasa masyarakat kota ini sudah banyak tercampur dengan bahasa asing, terutama dari masyarakat Yaman dimana bahasa Arab Yaman ini banyak tercampuri pula oleh bahasa Parsi dan Ethopia. Oleh karena itu, bahasa Arab Kufah dianggap kalah fasih dengan bahsa Arab Bashrah.[35]

B. Kritik al-Jabiri terhadap al-Sima’.
Dalam bukunya “Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi” (formasi nalar Arab) Muhammad Abid al-Jabiri menulis pasal khusus yang judulnya sangat bernuansa satir “al-‘A’râbiyyu Shani’ al-‘Âlam al-Arabi”[36] ( Orang pedalaman pembentuk dunia Arab). Menurutnya, saat itu masyarakat pedalaman (badui) dianggap memiliki otoritas dalam hal kebahasaan, karenanya, para ahli bahasa dengan antusias berupaya pergi ke daerah-daerah pedalaman untuk menemui mereka, menggali informasi dan sekaligus mengkonfirmasi suatu kasus kebahasaan tertentu yang tengah menjadi perdebatan diantara sesama ahli bahasa maupun yang akan mereka jadikan refrensi dalam menyusun sebuah teori tertentu.
Mengingat begitu pentingnya mencari justifikasi sebuah bahasa atau teorinya dari masyarakat badui, maka saat itu (abad kedua hijriah), lanjut al-Jabiri, informasi yang berasal dari mereka (masyarakat badui) menjadi lahan bisnis tersendiri. Masyarakat badui banyak yang sengaja datang ke Kufah atau Bashrah untuk menjual informasi (riwayat). Atau sebaliknya, orang-orang kota datang ke padalaman. Setelah merasa cukup mendapat banyak informasi dari masyarakat badui, mereka kembali kekota lalu mereka menjual informasi-informasi tersebut kepada para ahli bahasa sebagai penguat bahasa atau teori bahasa yang telah mereka rumuskan. Artinya, setiap bahasa atau teorinya, dianggap valid dan fasih jika didukung oleh refrensi tertentu yang mereka peroleh dari sumber orang badui.[37]
Parahnya lagi, kata al-Jabiri, masyarakat pedalaman yang dianggap memiliki validitas dan kefasihan dan dapat dijadikan sumber riwayat (informasi) pun mereka yang memiliki kriteria-kriteria terntu, diantaranya adalah mereka yang masih benar-benar memiliki ciri sebagai orang pedalaman, berkulit kasar (kotor) dan fasih berbahasa. Jadi, semakin primitif badui tersebut, dia semakin dianggap memiliki otoritas memberi informasi atau riwayat dan menjadi sumber refrensi.
Dengan demikian, para intelektual (ulama’) ahli bahasa dan nahwu yang pintar-pintar itu dalam menentukan keabsahan dan kevaliditasan bahasa maupun teorinya, banyak yang bergantung dari masyarakat badui yang kadar intelektual dan kebudayaannya jauh dibawah mereka. Bahkan dengan agak kasar al-jabiri mengatakan bahwa dalam perdebatan suatu bahasa dan teorinya, para ulama’ pun sering menjadikan orang-orang badui sebagai profesor mereka yang berhak memberi penilaian mana yang benar dan mana yang salah. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Sebab, jawab al-Jabiri, para ulama’ terlalu percaya dan menganggap kaum badui sebagai orang-orang yang pasti benar dalam berbahasa dan tidak berlaku salah sehingga seluruh rumusan kaidah bahasa harus selalu mengacu pada ucapan mereka.[38]
2. Al-Qiyâs

Prinsip kedua dalam epistemologi nahwu adalah al-Qiyâs. Prinsip muncul dan digunakan dalam merumuskan kaidah kebahasaan seiring dengan dimulainya permusan dasar-dasar ilmu nahwu. Dalam berbagai literatur yang membicarakan teori dan gramatika bahasa Arab, hampir seluruhnya menyebutkan bahwa prinsip al-Qiyâs telah mulai digunakanoleh tokoh yang dianggap sebagai bapak Ilmu Nahwu, Abu al-Aswad al-Du’ali, kemudian diperluas pemaknaan, pengertian dana penggunaannya oleh para ahli nahwu generasi selanjutnya terformula dalam mazhab-mazhab nahwu itu. [39]
Pada masa awal kemunculan nahwu, al-Qiyas memiliki pengertian yang sangat sederhana, yakni:”menjaikan bahasa yang dianggap benar (fasih) sebagai ukuran atau analogi dan model pembentukan suatu kalimat tertentu”[40]. Jadi, al-qiyas adalah membentuk pola bahasa dengan pola bahasa yang telah ada sebelumnya, baik dalam segi struktur kalimatnya maupun dari segi bentuk I’rabnya.
Dengan kata lain, al-Qiyas semula merupakan pengembangan lebih lanjut dari prinsip al-Sima’ yang telah muncul sebelumnya. Itu sebabnya, para ahli nahwu generasi awal juga terkadang berbeda pendapat sendiri untuk menentukan sebuah kasus dalam bahasa apakah ia sima’i atau qiyasi.
Seperti dalam kasus al-Sima’ yang memunculkan ragam pandangan antara mazhab Kufah dan Bashrah, dalam masalah al-Qiyas hal serupa juga terjadi. Bagi mazhab Kufah, semua yang mereka dengar dari orang Arab (kaum badui khususnya), tak peduli apakah informasi yang mereka peroleh itu berasal dari satu orang atau banyak orang, semuanya dapat dijadikan acuan untuk membuat rumusan serupa dalam menentukan kaidah kebahasaan. Sementara mazhab Bashrah bersikap sebaliknya. Mereka amat selektif dan berhati-hati. Hanya riwayat yang benar-benar yang telah disepakati kebenarannya oleh banyak orang yang mereka jadikan landasan bagi perumusan dan pembentukan kaidah bahasa. Tetapi sisi lemah mazhab Bashrah adalah adanya pemaksaan atau kalim kebenaran rumusan mereka sebagai barometer benar dan tidaknya sebuah bahasa. Mereka kurang apresiasif terhadap perbedaan yang ada meskipun, misalnya, bahasa itu diucapkan atau dikemukakan oleh orang Arab yang dianggap sangat fasih dalam berbahasa.
Dalam kaitan dengan prinsip al-Qiyas ini ada contoh menarik yang menggambarkan betapa mazhab Bashrah menganggap tidak benar rumusan diluar yang mereka tetapkan seperti puisi al-Nabighah berikut ini:
فبتّ كأنـي ساورتنـي ضئيلـة * من الرقش فى أنيابهـا السم نافع
Menurut pandangan mazhab Bashrah, ada kekeliruan dalam struktur bahasa puisi Nabighah di atas yaitu pada kata “نافع”. Menurut mereka, Nabighah keliru karena telah membaca rafa’ I’rab kata tersebut yang semestinya dibaca nashab (نافعا), atau dibaca rafa’ tetapi dengan menambah artikel “al- أل”, jadi berbunyi “النافع”[41]. Dengan demikian, menurut mazhab Bashrah, pola susunan kata seperti puisi tersebut tidak dapat dijadikan acuan dalam menyusun kalimat lain.
Bahkan mazhab Bashrah dianggap terlalu ketat sebab menganggap setiap yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang mereka bangun sebagi yang menyimpang meskipun ada acuanya dalam al-Qur’an. Misalnya saja perkataan “تسمع بالمعيدي خير من أن تراه” yang arti harfiahnya adalah”mendengar (berita) tentang al-Mu’aid lebih baik daripada melihat orangnya langsung”. Menurut mereka struktur kalimat di atas tidak benar dan tidak dapat dijadikan refrensi untuk menyusn kalimat serupa. Menurut mereka sebelum kata “tasma’u” harus terlebih didahului oleh huruf “an” (أن), sebab kedudukan kata tersebut adalah sebagai subyek, maka ia haruslah dapat ditakwil dengan mashdar, dan hal ini hanya dapat terjadi manakala ada huruf “an” sebelumnya. Padahal kasus struktur yang demikian ini terjadi dalam al-Qur’an seperti dalam ayat “ومن آياته يريكم البرق خوفا وطمعا” dimana dalam kata “yurîkum” yang statusnya juga sebagai subyek tidak didahului oleh huruf “an”.
Masih banyak contoh-contoh lain yang membuktikan adanya perbedaan yang begitu tajam antara mazhab-mazhab dalam nahwu terutama dalam soal al-Qiyas ini. Tulisan ini tidak akan memuat seluruh atau bahkan sebagian kecil saja dari contoh-contoh tersebut. Akan atetapi di sini hanya akan mengangkat beberapa contoh yang menunjukkan perluasan penggunaan prinsip al-Qiyas pada atahapan selanjutnya.
Jika pada mulanya al-Qiyas dipraktekan pada tingkatan pngkiasan kata, lafadz atau jumlah dengan sejenisnya dari segi struktur maupun formulasinya, maka pada perkembangan selanjutnya, prinsip tersebut juga dipraktekan dalam persoalan-persoalan kebahasaan lain yang lebih spesifik semisal dalam masalah i’rab (al-I’râb). Misalnya saja dalam soal fi’il mudhari’, terjadi perbedaan di kalangan ahli nahwu apakah fi’il tersebut mu’rab atau mabni. Tetapi pada umumnya mereka sepakat bahwa fi’il mudhari’ adalah mu’rab dengan cara mengkiaskannya dengan isim (al-Ism) dari segi fungsinya. Demikian pula pada kasus hurf “la-nafi” (لا النافية) dari segi cara kerja (amal)nya, oleh para ahli nahwi dikiaskan dengan huruf “inna” yang berarti “tansib al-Isma wa tarfa’ al-Khabar” (menasabkan isim dan merafa’kan khabarnya).
Prinsip al-Qiyas dalam perkembanganya hingga saat ini masih memainkan peran yang sangat dominan dibanding dengan prinsip-prinsip lain. Bahkan prinsip tersebut oleh para ahli bahasa Arab kontemporer dijadikan sebagai instrumen terpenting dalam pengembangan bahasa, khususnya terkait dengan soal penciptaan wazan-wazan baru untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan pertumbuhan berbagai kosa kata baru baik serapan maupun bukan. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini:[42]
1. Wazan “فعّال”, semula wazan ini bermkna mubalaghah atau bentuk “penyangatan”, kemudian sekarang digunakan juga sebagai wazan bagi kata yang menunjukkan profesi tertentu, misalnya “tukang bangunan, tukang daging (jagal), tukang kayu dan lain sebagainya dalam bahasa Arabnya adalah:البنّاء، اللحّام، النجّار"”. Wazan tersebut juga digunakan untuk kata-kata yang mempunyai arti “perlatan” semisal kulkas, mesin cuci dan lain-lainnya “ثلاّجة، غسّالة”.
2. Menjadikan wazan-wazan mashdar yang mengandung arti ketidak tenangan sebagai mashdar kiasi, semisal kata”الغليان” dan “الخفقان” dan lainnya, juga bentuk mashfar yang mengandung arti “penyakit atau sakit” semisal kata:السقم، البرص، السعال، والزكام.
3. Fi’il tsulatsi muta’adi (transitif) yang menggunakan hamzah dalam pentransitifannya dijadikan sebagai kiasi seperti kata “خرج” menjadi “أخرج”.
4. Begitu pula bentuk mashdar shina’iy seperti kata “al-Jâhiliyyah, al-Lushûshiyyah, al-Rahbâniyyah” yang sering digunakan dalam terma-terma filsafat, sains dan seni dijadikan sebagai mashdar kiasi.

3. Al-Âmil‎‎‎‎‎‎‎‎‎‎.
Prinsip ketiga dalam sistem epistemologi “Ilmu Nahwu” adalah “amil” (al-‘Amil). ‘Amil yang merupakan bentuk isim fa’il dari kata “ ‘amil” secara harfiah berarti “sesuatu yang bekerja”. Tetapi dalam pengertian ahli nahwu amil adalah “hal-hal yang menyebabkan atau mempengaruhi yang lain dari segi i’rabnya”. Amil tersebut dapat berupa sebuah kata verbal (terucapkan, tertulis) atau berupa kata yang tereksplisitkan secara jelas (ma’nawi), juga dapat berupa huruf-huruf yang difungsikan sebagai amil.
Amil, meskipun muncul lebih belakangan jika dibandingkan dengan prinsip al-Qiyas dalam bentuknya yang paling awal, namun ia memiliki peran yang sangat dominan dan yang terpenting dari seluruh sistem epistemologi ilmu nahwu, khususnya dalam formulasinya seperti yang kita kenal sekarang ini. Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa prinsip al-Qiyas muncul seiring dengan munculnya kesadaran para ahli bahasa untuk mulai mengilmiahkan bahasa Arab, sementara konsep amil baru dimunculkan, dirumuskan dan dikembangkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.[43]
Begitu dominannya peran amil dalam nahwu sehingga hampir seluruh kitab yang berbicara soal nahwu membahasnya hingga melampaui pembahasan prinsip-prinsip lainnya. Fenomena seperti ini tampaknya wajar belaka mengingat secara faktul amil memang menjadi titik sentral dan menjadi pilar utamanya dalam tatabangun (epistemologi) ilmu nahwu, sedangkan prinsip-prinsip lain hanya bersifat komplementer yang kehadiranya sekedar untuk menopang dan memperkuat posisi amil itu sendiri.
Akibat dari munculnya prinsip yang sangat dominan dalam ilmu ahwu tersebut, munculah kemudian persoalan-persoalan nahwu yang bersifat spekulatif dan rasional. Misalnya saja, sekedar contoh, jika dalam awal kemunculan ilmu nahwu telah dirumuskan teori “al-Fa’il atau al-Mubtada’”, keduanya berfungsi sebagai subyek, dan beri’rab rafa’ sebagai tanda statusnya, maka oleh al-Khalil mengajukan sebuah pertanyaan; apa atau siapa yang membuat mubtada atau fa’il itu dibaca rafa’? Maka iapun lalu menyusun teori barunya yang ia sebut dengan “amil” itu.
Berawal dari prinsip amil ini pula kemudian lahir teori-teori lain yang merupakan pengembangan atau solusi bagi kasus-kasus tertentu yang tidak dapat dipecahkan dengan amil yang bersifat verbal, misalnya saja muncul istilah amil maknawi, amil muqaddar (yang diperkirakan ). Juga muncul teori “illat” dengan berbagai ragam dan macamnya.
Itu sebabnya, kemudian muncullah tokoh-tokoh ahli nahwu yang mencoba membebaskan nahwu dari berbagai kerumitan teori dan dari prinsip-prinsip yang mereka anggap sebagai hal yang tidak perlu ada, atau paling tidak tidaka terlalu mendesak untuk tetap dipertahankan. Berbagai karya kemudian mereka tulis, baik yang sengaja menyajikan intisari dari ilmu nahwu dan tanpa melakukan kritik terhadap karya-karya lain yang terlebuh dahulu, maupun karya yang sengaja ditulis sebagai kritik dan penolakan atas prinsip-prinsip nahwu seperti di atas. Tulisan-tulisan nahwu model ini dan yang serupa kemudian oleh para penulis dan peneliti nahwu dianggap sebagai pembaharuan dalam nahwu.

IV. UPAYA PEMBAHARUAN ILMU NAHWU
Banyak buku baik pada masa abad pertengahan maupun saat ini yang sengaja ditulis sebagai kritik atau paling tidak untuk menunjukkan rasa prihatin atas terlalu luasnya pembicaraan tentang “Ilmu Nahwu”.Seperti telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, betapa cabang pengetahuan ini telah menjadi pengetahuan yang tidaka saja berbicara pada tataran teoretis yang simpel dalam kerangka memenuhi tuntutan pembelajaran bahasa Arab atau memahami teks-teks berbahasa Arab, tetapi telah melibatkan teori-teori yang bersifat logik-spekulatif.
Ada banyak ragam buku yang ditulis para ulama’ dari mulai buku yang bersifat “ikhtishar” (intisari) sampai yang berbau kritik pedas. Termasuk dalam kategori buku klasik yang bersifat intisari ini antara lain “Mukhtashar Mûjaz fi al-Nahwi”, karya Ibnu Kaisan (w.299 H), juga dengan judul hampir serupa buku-buku yang ditulis oleh para ahli nahwu yang hidup semasa dengan Ibnu Kaisan seperti Ibnu Syuqair dan Nafthawaih (w. 323 H). [44]
Tetapi dari berbagai kitab mukhtashar tersebut yang paling mendapat respon luas adalah buku yang ditulis oleh al-Zujâji (w.337 H) berjudul “al-Jumal fi al-Nahwi” yang kemudian dijadikan buku standar pengajaran bagi para pemula pelajar bahasa Arab di berbagai wilayah Arab seperti Syam, Yaman, Mesir, Magribi dan Andalusia.[45] Kemudian beberapa abad kemudian serang ahli nahwu dari Magribi bernama Ibnu Ajurum (w.723 H) menulis mukhtashar yang sangat terkenal yang ia beri judul “al-Muqaddimah al-Ajurumiyyah fi Mabâdi’ ‘ilm al-‘Arabiyyah”.[46]
Buku yang tebalnya hanya kurang dari duapuluh halaman ini mendapat sambutan sangat luas melebihi buku-buku lain serupa. Buku tersebut tidak saja menjadi buku ajar ilmu nahwu di negeri-negeri Arab, tetapi juga digunakan pula di negeri-negeri luar Arab. Di Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional) hingga hari ini banyak yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai buku wajib dalam pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku yang ditulis dengan maksud sebagai kritik dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu, terutama konsep “Amil” diantranya adalah buku nahwu yang berjudul “Kitâb al-Radd ‘Ala al-Nuhât” karya Ibnu Madha’ al-Qurthubi (w. 592 H), representasi karya klasik, dan buku “Ihyâ’ al-Nahwi”, karya Ibrahim Musthafa yang terbit pertamakali pada tahun 1937, representasi kontemporer.
Jika diperhatikan isi dari buku-buku di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya merupakan upaya penyederhanaan , pengefektifan dan penataan ulang bab-bab dalam ilmu nahwu agar menjadi sistematis, di samping juga memang ada beberapa buku yang secara terus terang menolak beberapa teori nahwu yang dianggap tidak signifikan seperti karya Ibnu Madha’ dan Ibrahim Musthafa di atas. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas , beberapa contoh pembaharuan nahwu ini dapat dijelaskan sebagai berikut, tentu tidak akan mengupas seluruh buku-buku yang ada tetapi hanya akan dibatasi pada dua buah buku saja yaitu karya Ibnu Madha, dan Ibrahim Musthafa karena kedua buku tersebut dianggap cukup representatif baik dari segi priodenya (klasik dan modern) juga cakupanya.
1. IBNU MADHA’
A. Kriritik terhadap beberapa prinsip dalam Nahwu
Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya, Ibnu Madha’ adalah salah seorang ahli nahwu klasik yang dengan keras melakukan kritik para ahli nahwu lain, khususnya atas berbagai unsur atau prinsip nahwu yang dianggapnya tidak ada arelefansinya dengan tujuan ilmu nahwu. Krititiknya itu ia tuangkan dalam karyanya yang cukup terkenal “Kitab al-Radd ‘Alâ al-Nuhât”. Tujuan dari penulisan buku tersebut dengan jelas dan tegas ia kemukakan sebagai berikut:”yang menjadi tujuan saya dalam kitab ini adalah membuang ilmu nahwu hal (unsur) yang tidak diperlukan oleh ahli nahwu, dan mengingatkan (menunjukkan) kesalahan yang mereka sepakati di dalamnya”.[47]
Dalam pandangan Ibnu Madha, unsur-unsur yang tidak signifikan atau bahkan tidak diperlukan samasekali dalam nahwu adalah “amil, illat qiyas dan taqdir”. Namun dari keempat unsur yang ditolak oleh Ibnu Madha’ itu, masalah unsur amil paling banyak mendapat perhatian para ahli nahwu lain. Hal ini dapat dipahami karena memang unsur amil adalah unsur yang paling dominan dari seluruh komponen atau prinsip nahwu yang berkembang pada masa abad tengah tersebut.
Pada kebanyakan buku nahwu dijelaskan bahwa setiap perubahan bunyi di akhir kata baik rafa’, nashab, jar dan lainnya, ialah disebabkan adanya pengaruh dari amil yang mendahuluinya, baik amil tersebut berupa amil lafdzi (terucapkan) maupun maknawi (tak terucapkan) atau amil muqaddar (tersembunyi). Kalimat “Jâ’a Muhammadun”, misalnya, bunyi rafa’ di akhir kata Muhammad tersebut adalah karena adanya pengaruh dari amil lafdzi, yaitu kata “Ja’a”, atau kalimat “Muhammadun Jâ’a”, bunyi rafa’ di akhir kata “Muhammad” itu adalaha karena pengaruh amil, yaitu amil al-Ibtida, karena statusnya menjadi mubtada’.
Dalam pandangan Ibnu Madha’ konsep tersebut adalah keliru, menurutnya yang menentukan perubahan harakat atau bunyi di akhir kata bukanlah amil, ttapi sipembicara itu sendiri, bukan karena adanya amil. Baginya, tidak ada hubungan pengaruh mempengaruhi atau hubungan apapun antara satu kata dengan kata yang lain dalam bahasa.
Dengan demikian, Ibnu Madha’ telah melakukan satu revolusi besar dalam nahwu dengan menggugat konsep amil yang begitu dominan dalam nahwu baik berbagai macamnya, syarat-syaratnya, segi penempatannya, disebut atau tidaknya amil dan sterusnya yang menurutnya sama sekali tidak berguna.
Disamping masalah amil, Ibnu madha’ juga mengkritik konsep ahli nahwu seputar “al-Dhama’ir al-Mustatarah” (kata ganti yang tersembunyi). Ibnu Madha’ memulainya dengan “isim fa’il” seperti dalam kalimat “زيد ضارب عمراً”, menurut kebanyakan ahli nahwu kata “Dhâribun” di dalmnya terkandung sebuah dhamir yang tersimpan, begitu pula dalam kasusu kalimat “زيد قام”, di dalam kata “Qâma” tersimpan dhamir yang kembali pada kata “Zaidun”. Dalam pandangan Ibnu madha’ konsep-konsep seperti itu tidak diperlukan sebab tanpa penjelasan-penjelasan seperti itu sebuah kalimat sudah dapat dipahami maknanya.
Selanjutnya Ibnu Madha, juga menolak teori “al-Tanâzu’” (perebutan dalam masalah amil) seperti dalam kasus kalimat “قام وقعدوا إخوتك أو قاموا وقعد إخوتك” yang menurut para ahli nahwu kebanyakan telah terjadi perebutan untuk berbuat (beramal) dengan cara mengfungsikan satu amil saja. Menurut Ibnu Madha’ teori ini samasekali tidaka sejalan dengan realitas yang ada. Orang Arab sendiri tidak pernah menggunakan susunan kalimat seperti itu dalam berbahasa mereka, semua itu hanyalah ciptaan para ahli nahwu yang mengada ada dimana. Bahkan teori ini telah pula diterapkan dalam kasus-kasus lain semisal bab kata “Dzanna dan a’lama”.
Sebenarnya masih ada teori-teori nahwu lain yang menurut Ibnu Madha’ tidak benar dan perlu dihilangkan dalam pembahasan nahwu semisal teori “isytigal dan tentang illat kedua atau ketiga dan lain sebagainya”
2. Tawaran restrukturisasi Ilmu Nahw
Disamping melancarkan kritik, Ibnu Madha’ juga menawarkan model alternatif ilmu nahwu, terutama dalam soal sistem penyusunannya sehingga ilmu nahwu menjadi mudah dipelajari. Pentaan kembali ini diperlukan karena selama ini banyak terjadi tumpang tindih antara bab satu dengan lain, atau kekurangatepatan dalam menyusun bab-babnya. Misalnya saja, dalam kasusu fi’il mudhari’ yang bertemu dengan nun taukid, yang selama ini dimasukkan ke dalam bab atau kategori fi’il mabni ia dijadikan satu ke dalam akelompok fi’il yang manshub agar ia menjadi satu bahasan dengan fi’il mudhari’ yang didahului oleh a-Nawashib (yang menasabkan). Begitu pula dalam kasusu fi’il mudhari’ yang bertemu dengan nun jama’ niswah (nun tanda plural mu’annats), mestinya dimasukkan ke dalam bahasan fi’il mudhari’ yang mabni majzum. Menurut Ibnu Madha’, tidak ada perlunya menyebut fi’il mudhari’ dalam kasus tersebut dengan sebutan “majzum” di satu saat,dan sebutan “mabni” pada saat yang lain.


Dengan cara sistematika penyusunan baru ini, menurut Ibnu Madha’ dapat mengefektifkan dana membuang beberapa pasal atau bab dalam nahwu.semisal bab tentang “Nawâsikh al-Mubtada’ wa al-Khabar”, sebab bab-bab tersebut dibangun atas konsep amil. Begitu pula dalam kaitannya dengan bab “kâna”, pembahasan soal ini haruslah disatukan dengan pembahasan fi’il lain pada umumnya.
Begitu pula terkait dengan masalah isim yang yang tidak ditanwin, pembahasan soal ini disatukan dengan pembahasan “isim yang tidak menerima tanwin atau ghairu munsharif”. Juga dalam pembahasan soal huruf “ la al-nafiyah”, tentan munada seharusnya pembahasannya disatukan saja.
Demikianlah intisari dari upaya pembaharuan ilmu nahwu secara garis besar yang ditawarkan oleh Ibnu Madaha’al-Qurthubi (dari Cordoba). Yang tentu saja masih ada beberapa bagian yang belum tercover dalam tulisan ini, namun demikian apa yang termuat dalam penjelasan di atas dianggap telah merepresentasikan upaya kritik dan pembaharuan ilmu nahwu yang diinginkan oleh Ibnu Madha. Secara keseluruhan.
2. IBRAHIM MUSTHAFA.
Jika Ibnu Madha’ merupakan kritikus nahwu abad tengah (klasik), maka Ibrahim Musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo). Pada tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu yang ia beri judul “Ihyâ’ al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun kemudian yaitu pada abulan Juli 1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr Kairo dengan kata pengantar doktor Taha Husain yang memuji buku tersebut.
Pada bagian pengantarnya, Ibrahim Musthafa menyatakan sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu yang aku geluti selama tuju tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa lembar saja. Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para pelajar dan menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel sehingga mereka dapat dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga mengantarkan mereka dapat memahami uslub-uslubnya (stylistikanya)…”[48]
Ide pembaharuan Ibrahim Musthafa terhadap nahwu mencakup banyak aspek, diantaranya yang terpenting adalah: Redefinisi Nahwu, penolakan terhadap amil, pembagian ulang masalah i’rab, tanda-tanda i’rab yang bersifat far’iyah dan lain sebagainya yang mungkin dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Redefinisi Nahwu.
Sebelum mengajukan definisi nahwu menurut versinya, Ibrahim Musthafa terlebih dahulu mengkritik para ulama’nahwu klasik yang pada umumnya memberi definisi nahwu dengan:”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui posisi akhir kata baik dari segi mu’rab maupun mabninya”.[49]
Dengan definisi nahwu seperti itu, lanjut Ibrahim, kajian nahwu hanya berkutat dan terfokus pada pada huruf-huruf terakhir pada sebuah kata-kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan mabninya. Definisi seperti ini, kritik Ibrahim, sama dengan mempersempit wilayah kajian nahwu. Bagi Ibrahim pengertian nahwu adalah”aturan penyusunan kalimat dan penjelasan posisi setiap kata yang ada di dalamnya, juga posisi kalimat dalam kaitanya dengan kalimat lain yang lebih luas , sehingga menjadi sebuah susunan kata yang sistematis dan memiliki pengertian yang memadahi”.[50]
Pembatasan nahwu yang menfokuskan perhatiannya pada posisi I’rab akhir setiap kata berarti telah mengabaikan hal-hal yang terpenting terkait dengan susunan kalimat dalam bahasa Arab. Kalau toh hal-hal lain ini mereka bahas, maka pembahasannya bersifat seporadis dan tidak sistematis.
2. Penolakan terhadap konsep Amil
Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebh dahulu menggali dan mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan menyatakan sebagai berikut:
“lebih dari seratusribu tahun mereka menekuni dan mengkaji masalah i’rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk membongkar rahasia i’rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya kajian mereka menyatakan bahwa I’rab adalah wujud adanya pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan) maupun yang tidak. Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi mereka adalah nahwu itu sendiri”.[51]
Menurut Ibrahim, inti pembicaraan mereka tentang amil dapat disarikan sebagai berikut:
a. Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut tidak disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar), memang ada amil yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan (muqaddar). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak sama seperti dalam contoh:"سقيا لك، تقديره –إسق اللهم سقيا دعائى لك".
b. Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma’mul. Kalau kasus ini terjadi maka para ulama’ nahwu klasik membagi cara kerja keduanya, satu amil mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya lagi beroperasi pada segi posisinya seperti dalam kasusu kalimat:"بحسبك هذا". Huruf “ba” pada kata “hasbika” bermal pada lafadz “hasbika” itu sendiri, sedangkan amil ibtida’nya beramal pada posisinya yang menjadi mubtada’. Dari kasusu semacam ini lalu mereka menciptakan teori “al-Tanâzu’” (saling betrebut dalam beramal) yang sangat rumit dan berbelit-belit.
c. Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi’il semata dan hanya beramal pada isim, baik rafa’ nashab. Fi’il hanyaa dapat merafa’kan satu isim saja, menasabkan lebih dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan menasabkan sekaligus.
d. Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal sempurna, sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi sebagai amil yang lemah. Ia tidak dapat beramal kepada kata yang mendahuluinya, bahkan diantaranya ada dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat tertentu seperti fi’il yang berfungsi sebagai ta’ajub, juga kata ni’ma dan bi’sa. Sedangkan fi’il naqis hanya dapat beramal kepada mubtada’ dan khabar.
e. Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena dipersamakan dulu dengan fi’il seperti isim fa’il, isim maf’ul dan isim mashdar. Setiap isim yang tidak memiliki kemiripan dengan fi’il maka ia tidak dapat beramal atau menjadi amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada sesama isim saja, tetapi juga dapat beramal pada fi’il, ia dapat merafa’kan dan menashabkan isim, tetapi terhadap fi’il ia hanya dapat menjazamkan saja.
f. Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri sebagai huruf asli dan tidak dipersamakan terlebih dahulu dengan fi’il, kedua dapat beramal jarena dipersamakan dengan fi’il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim maupun fi’il, ia merafa’kan, menasabkan dan mengejerkannya. Terhadap isim, huruf dapat beramal menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam proses amalnya dipersamakan dengan fi’il, maka kekuatan amalnya dilihat dari sejauhmana huruf tersebut memiliki kemiripan dengan fi’il baik dari segi makna maupun lafadznya. Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal karena ia memiliki arti yang berfungsi meperkuat pernyataan (taukid). Oleh sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan fi’il dari segi maknanya, disamping itu huruf “inna” juga terdiri dari tiga huruf, karenanya ia mirip dengan fi’il dari segi bentuknya. Jika “syiddah” yang ada pada huruf “inna” itu dihilangkan dan menjadi “in” saja, maka ia akan kehilangan daya kemiripannya dengan fi’il yang berarti pula semakin lemah beramalnya.
g. Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi pasangan khusus bagi kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan” dan “lam” misalnya, keduanya dapat beramal terhadap fi’il mudhari’ sebab keduanya memang hanya dapat berpasangan dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda misalnya dengan huruf “qad”, huruf ini tidak dapat beramal seba ia tidak memiliki pasangan khusus, ia dapat masuk pada fi’il mudhari’ maupun fi’il madhi.
h. Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam menurut konteks dan posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang dapat beramal sebagaimana amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.
i. Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi jika amil itu termasuk kategori amil yang kuat, maka ia dapat diletakkan setelah ma’mulnya.
j. Pada prinsipnya antara amil dan ma’mul harus terkait langsung, tidak ada pemisah diantara keduanya, namun jika amil termasuk kategori yang kuat maka ia dapat dipisah dengan ma’mulnya.
k. Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki posisi lebih lemah daripada amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil yang bekerja untuk fi’il terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât al-syarthi”.
l. Sebuah kata, dapat berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul sekaligus, tetapi dua kata tidak dapat saling beramal.
m. Bagian kata saja tidak dapat berperana sebagai amil.
n. Ada beberapa amil yang hanya dapat beramal dari segi “mahalnya” saja, bukan pada lafadznya karena adanya hal-hal tertentu yang membuatnya demikian.
o. Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal sama, maka mereka akan dimasukan dalam sebuah keluarga seperti “inna” dan “kâna”. Masing-masing dari keluarga huruf tersebut memiliki cara kerja yang lebih luas. Itu sebabnya, ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab), masing-masing mereka juga memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang lain di luar kelompok mereka.
Demikianlah intisari pembicaraan para ahli nahwu tentang amil dan i’rab yang mereka bangun dengan berdasarkan pemikiran yang logik dan filosofis sehingga mereka mengabaikan hal yang terpenting dari kalimat, yaitu makna yang terkandung di dalamnya.
3. Tawaran Pembaharuan Nahwu Ibrahim Musthafa
a. Pembatasan tanda i’rab
Jika selama ini tanda I’rab yang dikenalkan dalam nahwu ada tiga macam yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka Ibrahim Musthafa mengajukan tawaran agar fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu tanda i’rab. Jadi menurutnya, tanda i’rab itu hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan karena adanya pengaruh dari amil tetapi dari sipembicara sendiri untuk menentukan makna dari kalimat.
Dhammah menurutnya adalah tanda dari isnad (’alâmat al-Isnad). Karenanya, Ibrahim mengklompokkan pembahasan tentang al-Mubtada’, al-Fa’il dan Na’ibul Fail, isim kâna. Semuanya tadi dalam kategori Ibrahim adalah berstatus sebagai musnad ilaiah (al-Musnad ilaihi) dan ditandai dengan harakat dhammah. Adapun selain empat kasus tersebut yang terjadi dalam struktur ilmu nahwu maka semuanya, selain yang berharakat kasrah, bisa ditandai dengan fathah.
Sedangkan tanda menurut Ibrahim adalah sebagai tanda dari idafah (al-Idhâfah). Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua bahasan nahwu yang termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah yaitu idafah konvensional (kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf (jar) seperti huruf “min. ila’ ‘an. ‘ala’ fi’ dan lain sebagainya yang olehnya disebut sebagai huruf idhafah (hurûf al-Idhafah).
Fathah, dalam pandangan Ibrahim tidak termasuk tanda dari i’rab, sebab ia tidak menunjukan makna apapun. Fathah hanyalah harakat yang lebih disukai orang Arab daripada harakat-harakat lain. Mengapa demikian? Sebab harakat fathah lebih ringan dalam pengucapan daripada harakat-harakat lain semisal kasrah, dhammah atau bahkan sukun.
b. Penolakan adanya tanda-tanda I’rab yang bersifat far’iyyah.
Disamping i’rab asli (dhammah, kasrah dan fathah), para ahli nahwu klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang atau yang biasa disebut dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan sebabagi pengganti dari i’rab yang asli. Dalam kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti contoh-contoh berikut ini: "جاء أبوك، رأيت أباك، مررت بأبيك”, menurut ahli nahwu klasik yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf “wawu”, yang kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”. Menurut Ibrahim, teori ini terlalu mengada-ada dan dipaksakan, karena kalimat-kalimat tersebut adalah merupakan kalimat yang mu’rab seperti kalimat-kalimat mu’rab lainnya yang didhammah karena berperan sebagai musnad ilaih dan dikasrah karena idhafah. Jika diluar peran sebagai isnad dan idhafah maka semuanya ditandai harakat fathah.
Hal yang sama juga terjadi dalam kasus jama’ muzakkar salim (jam’ al-Muzakkar al-Salim) yang menurut mereka huruf “wawu” yang terdapat di dalamnya adalah sebagai tanda rafa’, sedang huruf “ya’” sebagai tanda nasab dan jar. Seperti dalama kasus contoh” جاء المسلمون، رأيت المسلمـين، مررت بالمسلمـين”. Padahal, menurut Ibrahim, dalam kasus tersebut persoalannya lebih simpel dibanding yang terjadi dalam kasus asma’ul khamsah. Tanda rafa’nya adalah dhammah, sedang huruf “wawu” berfungsi sebagai “isybâ’” (pemuasan atau pemantapan semata), demikian pula, kasrah tetap sebagai tanda jar dalam contoh tersebut, sedangkan huruf “ya’” hanya berfungsi sebagai isyba’. Di dalam kasus contoh tersebut fathah tidak disinggung, karena memang bukan merupakan bagian dari tanda I’rab. Hal serupa juga terjadi dalam jama’ mu’annats salim yang hanya mengenal I’rab dhammah dan kasrah karena, sekali lagi, fathah bukan termasuk dari tanda I’rab.
Ibrahim Musthafa juga tidak sependapat jika dalam kasus isim ghairu munsharif (tidak menerima tanda tanwin) tanda fathah yang terdapat padanya ketika majrur disebut sebagai ganti dari tanda akasrah. Sebab, menurutnya, tanda fathah itu tidak ada, maka iapun tidak dijadikan sebagai ganti tanda lain (kasrah) yang memang ada. Menurutnya, kasus isim ghiru munsharif yang tidak ditanwin (kasrah) ketika ia dalam posisi majrur mirip kasus yang terjadi pada kata yang diidafahkan pada “ya’ mutakallim” ketika huruf ya’ tersebut dibuang (tidak disebutkan) dimana mereka menggantinya dengan tanda kasrah, lalu dengan fathah manakala muncul kekaburan, tetapi setelah dianggap jelas dan tidak lagi kabur dengan yang lain, maka tanda kasrah dimunculkan kembali. Contoh-contoh kasus ini biasanya terjadi pada kata-kata yang diawali dengan huruf “al” atau diikuti dengan idafah.



c.Tawâbi’.
Tawâbi adalah sebah kata atau kalimat yang mengikuti kata atau kalimat sebelumnya. Dalam buku-buku nahwu klasik yang termasuk dalam kategori tawabi’ tersebut adalah “al-athf, al-na’at, al-taukid dan al-badal”. Ibrahim tidak menolak adanya tawabi’ ini. Yang ia usulkan adalah agar pembahasan tentang athaf (al-Athf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi atau menjadi pembahasan tersendiri. Sebab lafadz yang diatafkan memang tidak termasuk dari tawabi, tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan ma’thuf-nya.
Menurut Ibrahim yang layak menjadi pembahasan khusus adalah makna daripada setiap huruf athaf. Sebab tawabi’ sebenarnya ada dua macam. Pertma, kedudukannya (perannya) sebagai pelengkap makna kata sebelumnya, karena makna kalimat belum dapat dipahami apabila tidak menyebutkan kedua-duanya. Oleh karena itu, dalam kasus ini tabi’ harus sesuai persis (paralel, agreemen) dengan matbu’nya. Termasuk dalam kategori jenis pertma ini adalah al-Na’at.
Kedua, kata kedua (matbu’) bersifat independen, memiliki makna sendiri yang sudah dapat dipahami tanpa kehadiran lafadz kedua (tabi’). Sedang kehadiran lafadz kedua hanya berperan sebagai penjelas dari yang pertama Begitu pula lafadz atau kedua sudah sudah dapat dipahami seandainya tanpa menyebutkan kata yang pertama. Penuturan kedua-duanya hanya berfungsi sebagai taukid dan penjelas semata, perhatikan contoh berikut ini:”"زارني محمد أبو عبدالله، لقيت القوم أكثرهم أو كلهم . Kalimat tersebut dapat dikatakan dengan susunan seperti ini:”زارنـي محمد أو زارنـي أبو عبدالله” dengan memiliki pengertian yang sama, sebab yang dimaksud dengan Muhammad juga Abu Abdullah, dan Abu Abdullah juga Muhammad. Penggabungan kedua kata tersebut hanya berfungsi sebagai penjaelas (bayan) dan memperkuat pernyataan (taukid). Termasuk dalam kategori kedua ini adalah al-badal, al-taukid dan athaf bayan.
Cara pembagian yang demikian ini menurut Ibrahim lebih jelas, mudah dan efektif dari segi pembahasan ilmu nahwu. Yang membedakan fungsi masing-masing kata dalam struktur sebuah kalimat adalah maknanya. Dengan memperhatikan makna kata seseorang langsung dapat mengetahui fungsi dan ststus sebuah kata dalam kalimat tanpa harus bingung apakah ia sebagai na’at, badal aatau athaf bayan.
Demikianlah secara garis abesar ide pembaharuan ilmu nahwu yang ditawarkan oleh Ibrahim Musthafa. Meskipun masih ada beberapa unsur dalam nahwu yang belum sempat dikemukakan di sini seperti masalah pembahasan huruf “lâ al-nafiyah” yang oleh kebanyakan ahli nahwu dibahas secara tidak sistematis sesuai dengan asumsi dan teori mereka ayang memasukkan huruf tersebut di suatu saat beramal seperti huruf “inna” dan di saat yang lain ia beramal seperti huruf “laîsa”, tetapi sekaligus pada kesempatan lain dikategorikan sebagai tidak memiliki amal (muhmal). Dalam pandangan Ibrahim, hal yang semacam ini mempersulit pemahaman nahwu saja, oleh karena itu ia mencoba mendudukkan persoalan huruf “lâ” ini secara proporsional dan simpel. Hanya saja tulisan ini tidak sedang secara khusus membahas tokoh pembaharu nahwu tersebut, tetapi sekedar mencoba memotret arah dan model pembaharuan yang ia tawarkan.

Selain yang telah dikemukakan di atas tentang upaya pembaharuan nahwu seperti yang ditawarkan oleh Ibnu Madha’ dan Ibrahim Musthafa, pada priode modern ini sebenarnya masih banyak tokoh yang memunculkan ide-ide pembaharuan serupa. Diantaranya adalah Syauqi Dhaif, seorang ahli nahwu kontemporer yang banyak menulis persoalan nahwu dan linguistik Arab lainnya, ia menulis sebuah buku yang ia beri judul “Taisîr al-Nahwi al-Ta’lîmi Qadîman wa hadîtsan Ma’a Nahji Tajdîdihi” [52](Upaya Pempermudah Pengajaran Nahwu: dulu dan kini serta Metode Pemabahruannya), juga Amin al-Khuli yang menulis buku berjudul “Manâhij Tajdîd Fi al-Nahwi Wa al-Balâghati Wa al-Tafsîri Wa al-Adabi”[53] (Beberapa Metode Pembaharuan Nahwu, Balaghah, Tafsir dan Sastra).
Tetapi jika diperhatikan tawaran-tawaran pemabaharuan nahwu oleh kedua penulis buku tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh Ibnu Madha’ dan Ibrahim Musthafa. Kedua-duanya juga menyajikan tawaran-tawaran pembaharuan yang pernah diajukan oleh Ibnu Madha’ dan Ibrahim Musthafa. Hanya saja kedua buku di atas lebih sistematis dan metodologis dari segi pembahasannya, di samping keduanya juga memuat pembaharuan-pembaharuan nahwu yang diupayakan oleh kementerian pendidikan Mesir saat it
V. Kesimpulan.
Dari seluruh uraian pada bab satu hingga bab empat di atas, ada beberapa hal penting yang dapat dasarikan dan sekaligus menjadi kesmpulan penulisan ini. Adapun intisari dari pembahasan ini secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tradisional Islam, nahwu telah menjadi sebuah cabang pengetahuan yang ilmiah dalam arti ia memiliki kerangka tatabangun atau epistemologi yang jelas dan dapat diuji atau diselidiki secara ilmiah pula.
2. Pilar atau prinsip utama yang menjadi penyangga bangunan ilmu nahwu adalah: al-Sima’, al-Qiyas, al-‘Amil. Di luar ketiga pilar tersebut seperti al-Illat, al-Istishab dan lainnya hanya berperan sebagai pelengkap prinsip-prinsip utama.
3. Beberapa prinsip nahwu yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, oleh para kritikus nahwu dianggap ada yang bersifat berlebihan, bahakan dianggap tidak diperlukan, sebab hanya semakin menambah sulit dan rumitnya pengetahuan ini untuk dipelajari. Oleh sebab itu, mereka mengajukan ide-ide pembaharuan baik ari segi kerangka bangun maupun pentaan ulang sistematika penyusunan ilmu tersebut.
4. Pembaharuan ilmu nahwu pada masa abad pertengahan telah mulai dilakukan oleh Ibnu Madha’ al-Qurthubi, sedang pada masa modern pertama kali dilakukan oleh Ibrahim Musthafa, dosen pada Universitas Fuad al-Awal (kini Universitas Kairo), Mesir.
5. Pada umumnya, pembaharuan yang mereka tawarkan adalah menjauhkan kajian nahwu dari pemabahasan yang terfokus pada masalah amil, illat, qiyas serta membuat formulasi baru, baik dari aspek definisi maupun strukturnya.
VI. Penutup.
Secara jujur kami mengakui bahwa tulisan ini masih jauh dari yang diharapkan, sebab masih bersifat deskriptif semata. Kalau toh ada yang dapat diambil manfaat dari tulisan ini adalah meneruskan atau menindak lanjuti ide pembaharuan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh seperti yang telah kami singgung di atas, terutama dalam kaitannya kepentingan pengajaran ilmu nahwu baik ditingkat perguruan tinggi maupun sekolah dasar dan menegah. Akhirnya semoga tulisan ini menjadi pemici baik bagi kami maupun pihak lain yang memilki minat di cabang nahwu untuk terus melakukan langkah-langkah kreatif dan inovatif. Amin.

Dasan Maalan 03 januari 2012


Lukmanul hakim, S.Pd.i